ASAL USUL NAMA BLORA

KABUPATEN BLORA

Profil :

(Sumber: Departemen Dalam Negeri RI)

Nama Resmi : Kabupaten Blora.

Ibukota : Blora

Provinsi : Jawa Tengah

Batas Wilayah :

Utara : Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati.

Selatan : Kabupaten Ngawi dan Propinsi Jawa Timur.

Barat : Kabupaten Grobogan.

Timur : Kabupaten Bojonegoro dan Propinsi Jawa Timur.


Luas Wilayah :1820,59 Km2


Jumlah Penduduk : 836.008 Jiwa (Tahun 2003)


Wilayah Administrasi :

Terdiri dari : 16 Kecamatan, 271 Desa, 24 Kelurahan.

Website : http://www.pemkabblora.go.id

Sejarah

Asal Usul Nama Blora

Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA.

Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah..

Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA.

Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

Blora Era Kerajaan

Blora dibawah Kadipaten Jipang

Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi :

Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

Blora dibawah Kerajaan Mataram

Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mtaram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.

Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)

Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta.

Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora dibawah Kasultanan

Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya

BLORA KABUPATEN

Blora sebagai Kabupaten

Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya.

Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan

Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu..

Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh SAMIN SURASENTIKO.

Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal.

Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain :

Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora

Perubahan pola pemakaian tanah komunal

pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk

Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.


Arti Logo

BLORA

Berani kerja keras

Loyal pada pimpinan

Rasional dalam tindakan

Mustika

M a j u

U n g g u l

S e h a t

T e r t i b

I n d a h

K o n t i n y u

A m a n

CUPU MANIK (HASTA GINA)

Yang berbentuk segi lima melambangkan dasar falsafah Negara, yaitu Pancasila.

GUNUNG KEMBAR

Kesetiaan rakyat Daerah Kabupaten Blora terhadap Pemerintahan Republik Indonesia.

Kecintaan rakyat Daerah Kabupaten Blora terhadap Daerahnya.

POHON ENAM BATANG berwarna Hijau berpadu

dengan MENARA MINYAK berwarna Putih

Melambangkan kekayaan utama daerah Kabupaten Blora

SUNGAI (Lusi dan Bengawan Solo) yang dilukiskan

dengan dua jalur bergelombang dan berwarna Biru

Melambangkan penyaluran usaha-usaha pemerintah demi peningkatan kesejahteraan rakyat

Menggambarkan bahwa kemakmuran daerah Kabupaten Blora antara lain tergantung kepada pemanfaatan air dari kedua sungai tersebut.

T R I S U L A

Bertangkai Merah dan berwarna Putih mempunyai arti jiwa kepahlawanan rakyat Daerah Kabupaten Blora, berani bekerja, berani berkorban, dan berani menghadapi kesulitan ketiganya berlandaskan itikad baik

LINGKARAN berwarna Kuning Emas

Melambangkan sebagai kesatuan dan kedaulatan tekad rakyat Daerah Kabupaten Blora

KALA MAKARA

Sebagai Lambang Kebudayaan dan kesenian daerah rakyat daerah Kabupaten Blora

BINTANG SUDUT LIMA berwarna Kuning Emas

Sebagai lambang segala yang paling tinggi (Tuhan Yang Maha Esa) dan yang harus diagungkan demi keselamatan rakyat lahir dan bathin

PADI dan KAPAS

Motif Dwi Tunggal sebagai lambang kemakmuran

Sesanti Daerah yang berbunyi " CACANA JAYA KERTA BUMI "

Yang diartikan : tempat (arena, medan) kejayaan, kemakmuran dan kedamaian yang langgeng, atau dengan kata lain : "Bumi Kabupaten Blora ini mengandung kekayaan alamiah yang besar, yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan syarat harus berani bekerja keras (makarya)"

Nilai Budaya

Kesenian Barong atau lebih dikenal dengan kesenian Barongan merupakan kesenian khas Jawa Tengah. Akan tetapi dari beberapa daerah yang ada di Jawa Tengah Kabupaten Blora lah yang secara kuantitas, keberadaannya lebih banyak bila dibandingkan dengan Kabupaten lainnya.

Seni Barong merupakan salah satu kesenian rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Blora, terutama masyarakat pedesaan. Didalam seni Barong tercermin sifat-sifat kerakyatan masyarakat Blora, seperti sifat : spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran.

Barongan dalam kesenian barongan adalah suatu pelengkapan yang dibuat menyerupai Singo Barong atau Singa besar sebagai penguasa hutan angker dan sangat buas.

Adapun tokoh Singobarong dalam cerita barongan disebut juga GEMBONG AMIJOYO yang berarti harimau besar yang berkuasa.

Kesenian Barongan berbentuk tarian kelompok, yang menirukan keperkasaan gerak seekor Singa Raksasa. Peranan Singo Barong secara totalitas didalam penyajian merupakan tokoh yang sangat dominan, disamping ada beberapa tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu :

1. Bujangganong / Pujonggo Anom

2. Joko Lodro / Gendruwo

3. Pasukan berkuda / reog

4. Noyontoko

5. Untub.

Selain tokoh tersebut diatas pementasan kesenian barongan juga dilengkapi beberapa perlengkapan yang berfungsi sebagai instrumen musik antara lain : Kendang,Gedhuk, Bonang, Saron, Demung dan Kempul. Seiring dengan perkembangan jaman ada beberapa penambahan instrumen modern yaitu berupa Drum, Terompet, Kendang besar dan Keyboards. Adakalanya dalam beberapa pementasan sering dipadukan dengan kesenian campur sari.

Kesenian barongan bersumber dari hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang diawali dari iring-iringan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmarabangun / Pujonggo Anom dan Singo Barong.

Adapun secara singkat dapat diceritakan sebagai berikut :

“ Prabu Klana Sawandana “ dari Kabupaten Bantarangin jatuh cinta kepada Dewi Sekartaji putri dari Raja Kediri, maka diperintahlah Patih Bujangganong / Pujonggo Anom untuk meminangnya. Keberangkatannya disertai 144 prajurit berkuda yang dipimpin oleh empat orang perwira diantaranya : Kuda Larean, Kuda Panagar, Kuda Panyisih dan Kuda sangsangan. Sampai di hutan Wengkar rombongan Prajurit Bantarangin dihadang oleh Singo Barong sebagai penjelmaan dari Adipati Gembong Amijoyo yang ditugasi menjaga keamanan di perbatasan. Terjadilah perselisihan yang memuncak menjadi peperangan yang sengit. Semua Prajurit dari Bantarangin dapat ditaklukkan oleh Singo Barong, akan tetapi keempat perwiranya dapat lolos dan melapor kepada Sang Adipati Klana Sawandana. Pada saat itu juga ada dua orang Puno Kawan Raden Panji Asmara Bangun dari Jenggala bernama Lurah Noyontoko dan Untub juga mempunyai tujuan yang sama yaitu diutus R. Panji untuk melamar Dewi Sekar Taji. Namun setelah sampai dihutan Wengker, Noyontoko dan Untub mendapatkan rintangan dari Singo Barong yang melarang keduanya utuk melanjutkan perjalanan, namun keduanya saling ngotot sehingga terjadilah peperangan. Namun Noyontoko dan Untub merasa kewalahan sehingga mendatangkan saudara sepeguruannya yaitu Joko Lodro dari Kedung Srengenge. Akhirnya Singo Barong dapat ditaklukkan dan dibunuh. Akan tetapi Singo Barong memiliki kesaktian. Meskipun sudah mati asal disumbari ia dapat hidup kembali. Peristiwa ini kemudian dilaporkan ke R. Panji, kemudian berangkatlah R. Panji dengan rasa marah ingin menghadapi Singo Barong. Pada saat yang hampir bersamaan Adipati Klana Sawendono juga menerima laporan dari Bujangganong ( Pujang Anom ) yang dikalahkan oleh Singo Barong. Dengan rasa amarah Adipati Klana Sawendada mencabut pusaka andalannya, yaitu berupa Pecut Samandiman dan berangkat menuju hutan Wengker untuk membunuh Singo Barong. Setelah sampai di Hutan Wengker dan ketemu dengan Singo Barong, maka tak terhindarkan pertempuran yang sengit antara Adipati Klana Sawendana melawan Singo Barong. Dengan senjata andalannya Adipati Klana Sawendana dapat menaklukkan Singo Barong dengan senjata andalannya yang berupa Pecut Samandiman. Singo Barong kena Pecut Samandiman menjadi lumpuh tak berdaya.

Akan tetapi berkat kesaktian Adipati Klana Sawendana kekuatan Singo Barong dapat dipulihkan kembali, dengan syarat Singo Barong mau mengantarkan ke Kediri untuk melamar Dewi Sekartaji. Setelah sampai di alun-alun Kediri pasukan tersebut bertemu dengan rombongan Raden Panji yang juga bermaksud untuk meminang Dewi Sekartaji.

Perselisihanpun tak terhindarkan, akhirnya terjadilah perang tanding antara Raden Panji dengan Adipati Klana Sawendano, yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Panji. Adipati Klana Sawendana berhasil dibunuh sedangkan Singo Barong yang bermaksud membela Adipati Klana Sawendana dikutuk oleh Raden Panji dan tidak dapat berubah wujud lagi menjadi manusia ( Gembong Amijoyo ) lagi. Akhirnya Singo Barong Takhluk dan mengabdikan diri kepada Raden Panji, termasuk prajurit berkuda dan Bujangganong dari Kerajaan Bantarangin.

Kemudian rombongan yang dipimpin Raden Panji melanjutkan perjalanan guna melamar Dewi Sekartaji. Suasana arak-arakan yang dipimpin oleh Singo Barong dan Bujangganong inilah yang menjadi latar belakang keberadaan kesenian Barongan.”

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes