ungker from blora



Pernahkah kalian mendengar nama ungker? HAMPIR dipastikan, di Blora yang terkenal dengan hutan jatinya, setiap tahun pada masa peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan atau laboh, warga di sekitar hutan mengalami panen ungker (kepompong dari ulat daun jati.). Sayang setelah terjadi penjarahan hutan besar-besaran, panen ungker tidak seperti biasanya. Jumlahnya menurun drastis, bahkan untuk tahun ini musim ungker hanya berjalan sebentar. Sebutan bagi si kepompong ulat daun jati atau enthung. Walaupun tergolong hama, banyak orang menantikan kemunculan ungker. Bagi penggemarnya, ungker adalah makanan lezat, khas, dan kini kian langka.
satu cacatan buat para cewek yang belum pernah lihat ungker pasti akan
geli/ gigu(orang blora mengatakan) jadi hati hati aja...
Ungker:"Asyiiik, rasanya gurih!" kata penikmatnya. Sebaliknya, bagi mereka yang belum mengenalnya, umumnya merasa aneh dan takjub. Kepompong ulat kok dimakan? Hiiiiiiiii. Ketika membayangkan sang ungker menggeliat, mereka langsung ngeri bercampur geli. Bagi mereka yang alergi, perlu hati-hati karena dapat terkena biduren alias gatal-gatal.

Di balik itu semua, ungker termasuk makanan yang mengandung protein yang tinggi dan menyehatkan tubuh.
.
'ungker' merupakan pengalaman khas masyarakat Blora di sekitar hutan jati kala musim hujan datang. Mulai dari anak-anak, orang dewasa, sampai kakek-nenek, mendatangi hutan mencari ungker di balik dedaunan.

Ungker atau enthung merupakan kepompong ulat daun jati. Ulat dan kepompong itu tidak berbulu dan berwarna merah tua atau hitam kecoklat-coklatan. Ukurannya relatif kecil, sekitar 5-10 sentimeter. Ulat itu muncul ketika daun-daun jati mulai tumbuh pada musim hujan.

Demi ungker, warga sekitar hutan rela memarkir sepeda kayuh dan sepeda motornya berjam-jam di tepi jalan sekitar hutan jati. Mereka menyambangi setiap pohon jati mencari ungker.
Salah satunya Lasmiatun (30), warga Desa Kedungjarum, Kecamatan Randublatung, yang mencari ungker bersama dua tetangganya, Senin (17/11) siang. Dia menjelajah hutan jati wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung. Dia dengan tekun mengorek-orek dan membolak-balik daun jati kering sembari memegang plastik berisi ratusan ulat dan ungker.

"Ulat daun jati biasanya dimakan sendiri setelah digoreng. Sementara ungker umumnya dijual di pasar atau tepi jalan seharga Rp 5.000Rp 6.000 per gelas atau per pincuk daun jati. Ungker biasa dimasak oseng atau digoreng," ungkap Lasmiatun.

Ibu rumah tangga beranak dua itu biasa mencari ungker pukul 08.0015.00. Selama itu pula dia mengumpulkan dua gelas ungker sehingga mampu meringankan beban suaminya yang mencari nafkah sebagai buruh tani.

Yuni (20), warga Desa Wulung, Kecamatan Randublatung, juga meringankan beban keluarga berkat berjualan ungker selama November- Desember.

Setiap hari, dia menjual sekitar satu kilogram ungker. Jadi, dia mampu mengantongi uang Rp 25.000Rp 30.000 per hari dari penjualan ungker.

Soesilo Toer (68), adik sastrawan asal Blora Pramoedya Ananta Toer, mengatakan, mencari ungker adalah tradisi masyarakat Blora. Mereka memanfaatkan ungker sebagai makanan dan tambahan penghasilan.

"Konon kandungan protein ungker cukup tinggi," kata Soesilo tanpa merinci kandungan gizi sang ungker.

Dalam situs web SMA Negeri I Tunjungan Blora, Istika Wahyuni, pelajar sekolah itu, menjadikan ungker sebagai bahan penelitian dan penulisan karya ilmiah pada tahun 2007. Karyanya berjudul "Ungker sebagai Lauk Alternatif yang Belum Memasyarakat". Istika membuktikan ungker mengandung protein dan mampu meng-geliatkan perekonomian musiman masyarakat sekitar hutan.

Blora Menjadi Kawasan Studi Purba

BLORA, SELASA — Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menetapkan Kabupaten Blora sebagai kawasan studi purba. Pasalnya, sejumlah arkeolog banyak menemukan fosil-fosil dan peninggalan manusia purba di bekas endapan Sungai Bengawan Solo purba.

Penetapan itu sendiri dilakukan dalam Seminar Pengelolaan Cagar Budaya di Blora, Jawa Tengah, Selasa (9/12).

Peneliti senior Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Prof Truman Simanjuntak, mengatakan, Blora memiliki sejarah hunian yang sangat panjang. Sejumlah arkeolog yang mengadakan penelitian di Blora dapat menemukan dan mempelajari evolusi lingkungan, manusia, dan budaya.

"Fosil manusia purba yang terakhir, Homo soloensis, justru ditemukan di Ngandong, Kecamatan Kradenan, Blora. Daerah itu kerap disebut-sebut masuk wilayah Jawa Timur," kata dia.

Berdasarkan kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, di sepanjang daerah aliran Sungai Bengawan Solo di Blora terdapat 16 teras endapan yang membentang di Kecamatan Kradenan, Kedungtuban, dan Cepu. Salah satunya adalah teras Ngandong.

Tinggi teras itu sekitar 28 meter dari Sungai Bengawan Solo sekarang. Kawasan itu menjadi pusat penelitian arkeologi sejak 1931, yang dirintis tim survei geologi Belanda Ter Haar Oppenoorth Koenigswald. Tim itu menemukan 11 tengkorak dan dua tibia atau tulang kering.

Arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, Gunadi, mengatakan, pada 1977 sejumlah arkeolog melanjutkan penelitian di kawasan Blora bagian selatan itu. Semula mereka memfokuskan penelitian di Dusun Jigar, Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, dengan luas area penelitian sekitar 2.500 meter persegi.

Mereka menemukan sumber daya arkeologi, seperti fosil-fosil binatang purba, seperti yang ditemukan di Situs Sangiran, misalnya fosil gajah, rusa, kura-kura, dan kerbau. Pada saat itulah, sejumlah arkeolog itu menyatakan lokasi temuan itu merupakan endapan Sungai Bengawan Solo purba karena letaknya tidak jauh dari Sungai Bengawan Solo sekarang ini.

Pada tahun-tahun selanjutnya hingga sekarang, sejumlah arkeolog menemukan artefak-artefak zaman klasik dan perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Misalnya pada 1997, arkeolog menemukan sisa-sisa candi bata di Desa Kamolan, Kecamatan Blora, dan pada 2008 pelataran berundak di Desa Sentono, Kecamatan Kradenan.

"Kami berharap Pemkab Blora mau mengelola cagar budaya itu sehingga Blora benar-benar menjadi kawasan studi arkeologi," kata Gunadi.

Fosil Gading Gajah Purba Ditemukan di Blora


Kamis, 8 Januari 2009 | 07:12 WIB

BLORA, KAMIS — Tiga warga Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menemukan fosil gading dan patahan tulang iga gajah purba. Fosil lumayan utuh yang masih tergeletak di kebun Mbah Sabinah (65) itu sempat ditawar pemburu benda purba dan benda kuno Rp 5 juta.

Maman, Agus, dan Ramijan menemukan fosil tersebut pada akhir Desember 2008 saat mengambil pasir uruk untuk membuat jalan kampung.

Lokasi penemuan berada sekitar 100 meter dari Bengawan Solo dengan kedalaman galian sekitar 20 sentimeter. Lokasi tersebut juga berada sekitar 15 meter dari fosil gading gajah purba yang ditemukan seorang warga sekitar tahun 2000.

Semula mereka mengira fosil tersebut batu sehingga sempat merusak ujung gading dengan cangkul. Kondisi tersebut mengakibatkan panjang gading yang semula 150 sentimeter berkurang menjadi 120 sentimeter.

Tokoh masyarakat Dukuh Medalem, Sarwo (44), Rabu (7/1) di Blora, mengatakan, warga tidak berani menyimpan fosil tersebut ke tempat yang lebih aman. Mereka takut fosil tersebut rusak atau patah ketika diangkat.

”Sampai saat ini kami hanya membiarkan fosil itu tetap di lokasi. Agar tidak kepanasan, kami menutup fosil itu dengan daun pisang kering,” katanya.

Seniman ketoprak itu mengemukakan, fosil gading sempat ditawar pencari benda- benda purba dan kuno dari luar Blora seharga Rp 5 juta. Semula ketiga penemu bersedia menjual fosil tersebut. Namun, setelah pembeli tersebut datang dan tidak berani mengangkat fosil karena takut bermasalah, para penemu pun berniat menyerahkan temuan tersebut ke Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora.

Di Dukuh Medalem yang terletak di tepi Bengawan Solo tersebut kerap ditemukan fosil-fosil binatang purba, seperti gading, tanduk, tempurung kura-kura, dan tengkorak buaya. Sebagian kecil temuan tersebut berhasil diselamatkan, sedangkan sebagian besar lagi rusak secara tidak sengaja atau dijual penemu.

”Penemu tengkorak buaya purba menjual fosil tersebut dengan harga Rp 300.000, sedangkan fosil gading gajah ditukar dengan empat ekor kambing,” kata Sarwo.

Secara terpisah, Kepala Seksi Kesenian dan Nilai Budaya Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora Suntoyo mengatakan bahwa lokasi temuan merupakan endapan Bengawan Solo purba.

Daerah tersebut merupakan kawasan lindung cagar budaya yang rencananya akan menjadi salah satu kawasan studi purba di Kabupaten Blora.

”Saya sudah meminta tokoh masyarakat setempat mengamankan fosil tersebut sehingga tidak dibeli pemburu benda-benda purba,” katanya.

Arti Kejujuran

Arti Kejujuran
Jujur berarti berkata apa adanya, mengakui dengan kenyataan yang ada. Nabi Muhammad SAW bersabda : “Hendaklah engkau selalu berhati jujur, sebab jujur akan menyebabkan engkau selalu berada dalam kebaikan dan ke-baikan akan menuntun engkau masuk ke dalam surga”.

Kenapa Muzti Jujur??
Orang tua mengajarkan anaknya tentang bersikap jujur.
Anak : “Kenapa kita harus jujur, Bu?”
Ibu : “Karna jujur itu baik, orang yang jujur akan selalu disayang Tuhan.”
Semua orang tua pasti memotivasi anaknya buat bersikap jujur. Yah, memang benar!! Lalu apa kita bisa menjalani hidup ini dengan selamanya jadi orang jujur? Apakah kita sama sekali tidak boleh berbohong? Lalu masih adakah toleransi bagi kita untuk berbohong dalam hal-hal tertentu atau demi kepentingan tertentu?

Kejadian Lucu (Tidak Jujur)
Ketika orang tua melihat anaknya terjatuh dan menangis kesakitan, spontan orang tua itu pasti bilang :
“Oh, tidak apa-apa, Nak. Gag sakit kok, jangan nangis yah. Anak pintar!”
Bukankah secara tak langsung orang tua tersebut mengajarkan suatu “kebohongan” dengan menutupi rasa sakit itu. Hanya karna supaya anak itu tidak menangis???

Ada yang lain lagi :
Ketika bertamu, pemilik rumah bertanya :
“Sudah makan belum, makan sama-sama yuk!!!” meskipun pemilik rumah tersebut menawari dengan serius, pasti spontan kita akan menjawab :
“Owh, sudah!! Baru saja makan.” padahal sebenarnya kita belum makan.

Nah, kalau sudah seperti ini, sebenarnya dimana sih letak kejujuran itu? Apakah belajar mengejar kesempurnaan harus tidak bohong sama sekali? Bukankah dalam menjalani hidup ini kita harus mau tak mau “bertopeng”???

Ketika kita meyakinkan diri kita bahwa kita memang sudah “jujur”, tapi kemudian kita akan merasa kesulitan menjawab “Apakah sebenarnya saya ini tidak membohongi diri saya sendiri?”

Lalu bagaimanakah yang sesungguhnya? Semoga teman-teman bisa menjawabnya. Tentunya harus jawaban yang jujur lho!

Cepu Lebih Unggul ketimbang Blora

ini saya ambil dari koran suara merdeka yang ditulis oleh: Oleh Fakhruddin Aziz

MENDENGAR nama Blora, sekelebat yang terlintas dalam pikiran banyak orang tentu tidak akan jauh-jauh dari hutan jati yang konon berkualitas, kandungan minyak bumi yang melimpah, komunitas masyarakat samin, atau bahkan sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer.

Blora adalah sebuah kota kecil di ujung paling timur provinsi Jateng yang memang kaya akan sumber daya alam (SDA), tradisi dan budaya lokal, dan sarat dengan nilai-nilai sejarah. Tapi ada sebuah kota yang lebih terkenal dari itu. Ada kecamatan yang terletak di paling ujung timur dan berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Timur. Cepu.

Menyoal kecamatan yang satu ini, kita mungkin sepakat bahwa Cepu ternyata lebih kondang dibandingkan dengan kabupatennya sendiri, yakni Blora. Benarkah seperti itu?

Penulis atau juga Anda mungkin punya pengalaman tentang hal ini ketika berinteraksi dengan orang dari daerah lain, terlebih dari luar Jateng atau bahkan luar jawa.

Blora kurang terkenal. Jelas, pengalaman itu seperti itu sering terjadi. Penulis pernah dengan semangat menjelaskan sekaligus meluruskan ini dan itu tentang keadaan yang sebenarnya. Mungkin pembaca juga banyak yang mengalami pengalaman serupa.

Nama Cepu bisa lebih moncer dibandingkan Blora. Antara lain karena di sana terdapat kandungan minyak bumi yang melimpah sehingga anak SD pun banyak yang familiar dengan nama Cepu.

Itu tercatat dalam pelajaran Geografi. Ditambah lagi dengan keberadaan Blok Cepu yang sering diekspose oleh berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, lokal maupun nasional.

Historiografi Cepu
Secara historis, seperti yang disebutkan dalam Wikipedia, nama Cepu sebenarnya juga sudah ada sejak zaman Panembahan Senopati (Raja Mataram I). Tepatnya saat terjadi perebutan puteri Madiun yang bernama Retno Dumilah. Konon, ada juga kisah penamaan Cepu diambil dari kisah Aria Penangsang, yakni saat pertempuran antara Jipang Panolan dan Pajang di pinggiran bengawan Solo.

Saat itu, ada seorang prajurit (versi lain mengatakan bahwa prajurit tersebut ternyata Aria Penangsang) yang tertancap tombak di pahanya. Dalam bahasa Jawa berarti ”nancep neng pupu”. Maka tersebutlah kata ”Cepu”.

Tidak hanya saat ini, nama Cepu ternyata juga merupakan salah satu daerah penting sejak zaman penjajahan karena kandungan minyak bumi dan kayu jati yang berkualitas.

Wajar jika saat ini kita masih bisa menjumpai bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang sarat dengan nilai-nilai historis, seperti Loji Klunthung, gedung pertemuan SOS Sasono Suko, kuburan londo, jalur kereta api yang menghubungkan Jatim dan Jateng lewat Cepu, dan bekas landasan pesawat terbang di Ngloram. Selain itu, saat ini beberapa instansi penting juga bercokol di sana, seperti PT Pertamina EP, Pusdiklat Migas, dan lain sebagainya.

Lebih Unggul
Dari sisi keramaian, kemajuan, dan kedinamisan, Cepu bisa dibilang sedikit lebih unggul dibandingkan dengan kota kabupatennya sendiri, Blora. Di Jantung kota Cepu, terdapat taman. Masyarakat setempat menjuluki sebagai ”Taman Seribu Lampu” (One Thousand Lamp Park).

Sebutan itu diberikan karena di sana ada lampu berjumlah cukup banyak. Tempat itu dijadikan oleh masyarakat Cepu sebagai ruang publik yang berfungsi sebagai sarana hiburan yang murah meriah dan selalu ramai dikunjungi warga terutama pada malam hari.

Dengan kondisi itu, tidak mengherankan pula jika perhelatan-perhelatan besar sering digelar di Cepu. Ditambah lagi, dari sisi geografis, Cepu juga sangat strategis karena menjadi persimpangan ke kota-kota sekitarnya seperti Ngawi, Tuban, Rembang, Bojonegoro, dan lainnya. Itu sangat memungkinkan pula jika Cepu dirintis menjadi kota perdagangan. Keramaian dan kedinamisan itu akan semakin kentara menyusul rencana operasi blok Cepu.

Popularitas Cepu itu memang sangat beralasan karena ditopang oleh SDM dan SDA yang memadai. Karena potensi itu pula, tidak berlebihan jika bargaining position masyarakat Cepu juga cukup kuat. Mereka juga cukup pede menyebutkan nama Cepu saja tanpa embel-embel Blora.

Hal itu cukup beralasan karena orang lain sudah sangat mafhum dan familiar dengan nama Cepu. Tidak mengherankan pula jika banyak organisasi atau komunitas-komunitas yang berbasis masyarakat Cepu merantau untuk bekerja atau menempuh studi di luar Blora atau di luar Jateng.

Popularitas Cepu yang melampaui Blora itu mirip dengan kabupaten tetangganya, Grobogan. Itu justru lebih populer dengan nama Purwodadi. Namun bedanya, Purwodadi merupakan ibu kota kabupaten, sedangkan Cepu tidak.

Lihat saja, klub sepak bola setempat juga memakai nama Purwodadi. Trayek bus juga menggunakan nama serupa. Di level yang lebih besar, ternyata nama Bali juga lebih populer dan familiar daripada nama Indonesia di telinga turis mancanegara.

Meskipun lebih populer daripada Blora, Cepu tetaplah menjadi bagian dari kabupaten Blora, baik secara geografis maupun administratif. Jadi kebanggaan Cepu merupakan kebanggaan kabupaten Blora juga.

Popularitas bukanlah segalanya. Yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat Blora tetap warek, waras, wasis, dan wilujeng, seperti slogan yang sering didengung-dengungkan. (80)

— Fakhruddin Aziz, warga Blora, mantan Ketua Kamaba (Keluarga Mahasiswa Blora Yogyakarta).

Antasari ibarat Karna Tanding

Antasari ibarat Karna Tanding

Tulisan ini bukan untuk membela Ketua non-aktif KPK Antasari Azhar karena tersangkut kasus kriminal. Tetapi untuk mengimbangi pendapat yang mempertanyakan atau meragukan bersih tidaknya seorang Antasari di masa lalu dan keterpilihannya sebagai ketua KPK di Komisi III DPR RI dua tahun lalu.

Pikiran saya pun lantas teranalogikan oleh lakon wayang Bharatayuda pada episode Karna Tanding yang mengisahkan semangat pengorbanan terhadap kezaliman yang mapan dan kronis.

Adalah ksatria bernama Basukarna atau Karna seorang adipati di Kerajaan Astina dan berjuluk Senapati ing Awangga. Dia besar di tengah sistem pemerintahan culas-krasi.

Artinya, makin culas seseorang makin mengkilap karier kekuasaannya. Ini terbukti pada Sengkuni yang berhasil menduduki jabatan patih karena keahliannya dalam berculas-ria sehingga sengkuni-isme pun menjadi trendslater / mempribadi pada para pejabat penting di Astina, termasuk sang adipati.

Namun seiring waktu, dia yang sesungguhnya keturunan dewa dan kakak pertama dari lima bersaudara Pandawa (penguasa Kerajaan Amarta yang menerapkan pemerintahan jujur-krasi), akhirnya toh muncul sifat luhurnya ,yaitu ingin memberangus kezaliman Astina secara revolusioner (cepat dan menyeluruh).

Meskipun secara fisik dia harus berpihak pada Kurawa (penguasa Astina). Namun sebenarnya secara batin berpihak kepada Pandawa. Ini terlontar dalam dialog saat berpamitan dengan Ibunda Kurthi Nalibroto dan Arjuna (adik yang kelak akan membunuhnya).

Bahkan dalam satu pentas wayang yang saya tonton, sang dalang menyatakan sebenarnya Karna telah tahu bahwa dia akan gugur di tangan sang adik. Tetapi hanya itu satu-satunya jalan untuk berdarma bakti kepada kebenaran dan kemuliaan hidup yang lama dirinduinya, sekaligus menjadikannya sebagai momen pertaubatan yang gagah. Dia justru menyemangati sang adik agar tidak ragu untuk bertempur melawannya.

Terkutukkah atau terpujikah balada sang adipati? Yang pasti dia telah berupaya memberi arti bagi sebuah perubahan ke arah perbaikan meski baru ditebus di ujung usianya.

Demikian halnya dengan Antasari Azhar sebagai produk sistem pemerintahan KKN-krasi akan sangat mungkin punya masa lalu yang kurang bersih. Pertanyaan jujurnya, mungkinkah ada pejabat produk Orde Baru yang benar-benar jujur dan bersih untuk menjadi Ketua KPK?

Mengingat rata-rata dari mereka telah menganggap KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) sebagai ideologi tidak tertulis dalam mengelola negara. Apa pun yang nanti menjadi keputusan final terhadap pribadi Antasari Azhar, kita toh patut berterima kasih karena dia salah satu anak bangsa yang telah memberikan pencerahan luar biasa terang bahwa korupsi bukanlah hal sakral, apalagi disakralkan.

Melainkan untuk diberantas. Kita jadi makin paham apa dan siapa yang mengadang institusi pemberantasan korupsi.

Semoga apa yang dialami Antasari justru mendorong KPK lebih gigih dalam menggilas koruptor hingga tercapai keadaan. Antikorupsi telah menjadi grand design pengelolaan negara, semoga dan semoga. Salam Indonesia!

Pramoedya Ananta Toer


(Blora, Jawa Tengah 6 Februari 1925 – Jakarta 30 April 2006) secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa “Mas” dari nama tersebut dan menggunakan “Toer” sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Ketika Pramoedya mendapatkan [[Ramon Magsaysay Award]], [[1995]], diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat ‘protes’ ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai “jubir sekaligus algojo [[Lembaga Kebudajaan Rakjat|Lekra]] paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang” di masa [[Indonesia: Era Demokrasi Terpimpin|demokrasi terpimpin]], tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, [[Taufik Ismail]] sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut ‘pencabutan’, tetapi mengingatkan ’siapa Pramoedya itu’. Katanya, banyak orang tidak mengetahui ‘reputasi gelap’ Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, [[Mochtar Lubis]] malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun [[1958]], jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, [[HB Jassin]] pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran ‘tidak terpuji’ pada ‘masa paling gelap bagi kreativitas’ pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari ‘golongan polemik biasa’ yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang ‘kelewat jauh’. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak [[Orde Baru]] berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai ‘juru-tulis’. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat ‘pekerjaan’ dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari ‘luar’ yang datang pasti Pramoedya akan menjadi ‘bintangnya’.
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors’ Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.
Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. “Dorong saja saya,” ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya
Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya
Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, “Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang,” katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

————-
Penghargaan:

* Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
* Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
* Wertheim Award, “for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people”, dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
* Ramon Magsaysay Award, “for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people”, dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
* UNESCO Madanjeet Singh Prize, “in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violance” dari UNESCO, Perancis, 1996
* Doctor of Humane Letters, “in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom” dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
* Chancellor’s distinguished Honor Award, “for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding”, dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
* Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
* New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
* Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
* The Norwegian Authors Union, 2004
* Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Lain-lain

* Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
* Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
* Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
* Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
* Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
* International PEN English Center Award, Inggris, 1992
* International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999
*Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
* Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
* Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949
* Keluarga Gerilya (1950)
* Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
* Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
* Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
* Bukan Pasarmalam (1951)
* Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
* Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
* Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
* Gulat di Jakarta (1953)
* Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
* Korupsi (1954)
* Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* Cerita Dari Jakarta (1957)
* Cerita Calon Arang (1957)
* Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
* Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
* Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
* Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
* Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
* Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
* Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
* Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
* Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
* Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
* Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
* Arus Balik (1995)
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
* Arok Dedes (1999)
* Mangir (2000)
* Larasati (2000)
* Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)

————————-
Buku tentang Pram dan Karyanya:

* Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
* Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
* Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama)
* Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)
* Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)

waduk greneng

OBYEK WISATA WADUK GRENENG
Obyek Wisata Waduk Greneng merupakan Obyek Wisata Alam berupa Waduk terletak didukuh Greneng desa Tunjungan Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora + 12 km kearah barat laut dari Kota Blora. Obyek Wisata ini mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai fungsi utama irigasi tanah pertanian dan pembesaran ikan air tawar. Karena letak dan lokasinya yang begitu indah dan menarik, serta berlatar belakang dekat dengan hutan Wilayah KPH Mantingan yang menambah suasana berkesan keindahan pemandangan alamnya, sehingga Obyek Wisata Waduk Greneng juga merupakan Obyek Wisata yang banyak dikenal oleh masyarakat baik dari dalam maupun dari luar kota, khususnya kaum remaja yang mempunyai hoby memancing.
disini anda juga bisa menikmati kelezatan buah durian, didekat waduk greneng banyak pohon duriannya, tapi ya hanya musim-musim tertentu aja,
Obyek Wisata Waduk Greneng mempunyai hamparan yang luas + 45 ha dengan terdapat beberapa macam / jenis ikan air tawar, sehingga banyak masyarakat setempat yang menjajakan ikan hasil tangkapannya, dalam hal ini dapat menambah semaraknya suasana sekaligus sebagai daya tarik Obyek Wisata Waduk Greneng. Untuk mencapai Obyek Wisata dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.
waduk greneng ini dekat rumahku.sekarang waduk greneng habiz direnofasi,jadi lebih bagus dan indah..

TAMAN BUDAYA DAN SENI TIRTONAD

TAMAN BUDAYA DAN SENI TIRTONADI
Obyek Wisata Taman Budaya dan Seni Tirtonadi merupakan taman rekreasi yang banyak diminati khususnya bagi remaja dan anak-anak, yang letaknya berada di jantung Kota Blora, tepatnya di Jl. Sudarman Blora. Obyek Wisata ini pernah mengalami kejayaan hingga akhir tahun 60-an,yang pada saat itu banyak dikenal masyarakat dengan sebutan Kebun Binatang Taman Tirtonadi karena banyak satwa yang di pelihara. Obyek Wisata yang prnah mengalami kejayaan dan sudah banyak dikenal masyarakat ini memang pantas untuk berusaha berbenah diri untuk mencapai kejayaan lagi. Pada saat ini tepatnya tahun 2001, di Taman Wisata ini mulai dibangun dan ditambah sarana dan prasarananya untuk mempercantik diri serta meningkatkan kunjungan wisatawan dan memberikan rasa kepuasan serta kenyamanan.

Fasilitas yang mulai dibangun antara lain :

Gerbang Utama / Gapura lengkung, Pintu masuk utama, Jalan sirkulasi taman, kios dalam taman, kolam renang anak, pagar keliling, dsb. Diharapkan dalam waktu dekat, wasilitas yang lain juga dapat terselesaikan antara lain : Kolam renang dewasa, panggung hiburan, sangkar burung dengan ukuran besar dan lain-lain, sehingga Taman Seni dan Budaya Tirtonadi benar-benar jaya kembali, mempunyai nilai historis, nilai lingkungan yang indah, nilai sosial masyarakat, nilai budaya dan nilai ekonomi.

Petilasan Kadipaten Jipang

Petilasan Kadipaten Jipang terletak di Desa Jipang, Kecamatan Cepu lebih kurang 45 km kearah Tenggara dari Kota Blora. Objek wisata ini merupakan objek wisata peninggalan sejarah dan adat budaya pada jaman Kerajaan Pajang. Terkenal dengan sebutan Kadipaten Jipang Panolan yang berkedudukan di Desa Jipang, Kecamatan Cepu dan berada dipinggir Bengawan Solo, disamping sebagai pusat Pemerintahan sekaligus juga sebagai Bandar Perdagangan. Pada saat itu pemimpin Kadipaten Jipang adalah Adipati Aryo Penangsang dengan kudanya yang terkenal sakti ; "Gagak Rimang".

Petilasan Kadipaten Jipang Panolan setelah dihancurkan oleh Pajang yang masih ada hingga sekarang : Petilasan Semayam Kaputren, Petilasan Bengawan Sore, Petilasan Masjid, Makam Kerabat Kadipaten waktu itu atau disebut Makam Gedhongan antara lain : Makam R. Bagus Sumantri, R. Sosrokusumo, R.A. Sekar Winangkrong, Tumenggung Ronggo Admojo, serta lebih kurang 20 meter ditepi Bengawan Solo terdapat Makam Santri Songo yang dibunuh karena diduga mata-mata dari Pajang, diantara kesembilan makam tersebut menurut keterangan penduduk, nama yang dikenal yaitu : R. Bagus Sulaiman, Ismail, dan Sulastri, Petilasan Kadipaten Jipang banyak dikunjungi masyarakat untuk berziarah atau tujuan tertentu, terutama pada hari kamis malam jumat.

Makam Sunan Pojok

Makam Sunan Pojok
Makam Sunan Pojok terletak di jantung Kota Blora dekat dengan Alun-Alun Kota Blora, tepatnya berada disebelah Utara Pasar Kota Blora, sangat strategis dan mudah dijangkau baik dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut data inventaris Kepurbakalaan dari Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Blora serta hasil dari pendapat sebagian tokoh masyarakat mengenai data-data makam para tokoh Pemerintahan dan Keagamaan pada waktu dulu, merupakan awal mula pemerintahan di Kabupaten Blora. Barangkali dari sini dapat digambarkan asal mula Kabupaten Blora. Makam Sunan Pojok adalah Makam Pangeran Surobahu Abdul Rohim. Sebelumnya beliau adalah seorang perwira di Mataram yang telah berhasil memadamkan kerusuhan di daerah pesisir utara atau tepatnya didaerah Tuban, sekembalinya dari Tuban diperjalanan beliau jatuh sakit dan meninggal dunia di Desa Pojok Blora,

Menurut seorang ahli makam, Mbah Sobib dari desa Bugel Menganti, Kecamatan Pecangaan Kabupaten Jepara, Pangeran Surobahu Abdul Rohim juga punya nama kecil yaitu Benun ( Mbah Benun ). Karena jasa-jasa Sunan Pojok, maka putranya yang bernama Jaya Dipa diangkat sebagai Bupati Blora yang pertama ( Dinasti Surobahu Abdul Rohim ), setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama Jaya Wirya, Kemudian oleh Jaya Kusumo. Keduanya, setelah wafat dimakamkan dilokasi Makam Pangeran Pojok. Kauman. Mkam Sunan Pojok sering dikunjungi/ diziarahi oleh banyak masyarakat pada malam jumat kliwon pon, setiap kegiatan Khoul tanggal 27 Suro ( Tahun Jawa ), serta pada saat Hari jadi Kab. Blora , dan dilaksanakan tanggal 10 Desember.

tembok derita

ini adalah sebutan tempat makan, aku dan teman teman abis maen balapan liar,kan kita pada laper jadi cari makan, tempatnya dibelakang pasar blora,penjualnya adalah ibu ibuk. ya disini lumayan murah menu utamanya adalah nasi pecel, biasalah..buat kita kita udah lumayan enak, ya mau gimana lagi? tiap malem minggu kita slalu makan disini, tapi disini bukanya jam 23.00 jadi sebelum jam itu kita masih setingan didepan DPR blora.
kenapa tempat ini kita namakan tembok derita karena kita kalau makan menghadap tembok yang tidak karuan warnane...lha mau gimana lagi? mau liat cewek lewat? blora gitu..
jam segitu dah g' ada cewek lewat adanya penjual daun jati&kembang..

WISATA DI DAERAH TODANAN- BLORA


Goa Terawang
Kawasan wisata Goa Terawang merupakan kompleks goa yang memiliki enam goa dalam satu kawasan, ini terbanyak di Jateng. Di dalam kawasan seluas 13 hektar itu terdapat satu goa induk, satu sendang, dan lima goa kecil lainnya. Goa ini merupakan satu-satunya goa yang di dalamnya terang di siang hari karena terkena sinar matahari. Di kompleks Wanawisata Goa Terawang terdapat kawasan arena bermain anak yang terletak 50 meter dari mulut Goa Terawang yang terasa sejuk karena dipayungi ratusan pohon jati besar.
Lokasi Goa Terawang
Lokasinya berjarak 32 kilometer arah barat Kota Blora atau 107 kilometer dari Kota Semarang.Untuk mencapai Goa Terawang sudah tersedia jalan desa yang mulus, dapat ditempuh dari Semarang-Purwodadi-Wirosari menuju ke Kunduran Kabupaten Blora. Tepat di pertigaan depan Puskesmas Kunduran, pengunjung bisa belok kiri melintasi jalan desa yang mulus sepanjang lebih kurang 8 kilometer. Kawasan wisata Goa Terawang berada persis di tepi jalan. Kalau dari Blora, pengunjung menuju ke arah pertigaan Pasar Ngawen, kemudian membelok ke kanan melintasi jalan menuju ke Japah, Padaan, Ngapus, hingga tiba di Todanan atau sekitar 10 kilometer.
Bagi pengunjung yang menggunakan angkutan umum untuk mencapai Goa Terawang, cara yang gampang adalah dengan menaik bus dari Semarang atau dari Blora, lalu turun tepat di Puskesmas Kunduran. Kemudian, pengunjung pindah ke angkutan minibus jurusan Blora-Todanan yang tersedia tiap saat. Sebaiknya pengunjung menghindari perjalanan setelah magrib atau selepas pukul 15.30. Sebab, angkutan umum yang melayani rute Kunduran ke kawasan wisata Goa Terawang sangat jarang. Memang, rambu petunjuk arah menuju ke goa itu tidak terlihat lagi. Di sepanjang jalan utama Semarang-Blora, rambu juga tidak terpasang sehingga agak merepotkan pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi. Namun, tak perlu khawatir, Anda bisa bertanya kepada setiap penduduk setempat. Pada akhir pekan sering kali ada pertunjukan hiburan musik dangdut atau kegiatan pertemuan di pendapa limasan khas rumah Blora di areal kawasan wisata Goa Terawang
Gigi "buta"
Kawasan area Goa Terawang memiliki lingkungan berhawa sejuk, segar,dengan panorama hutan yang memesona. Pertengahan November 2006,misalnya, meski kawasan itu masih diliputi musim kemarau, suhu udaranya hanya 21,8 derajat Celsius. Ketika matahari mencapai puncaknya, suhu udara di kawasan itu masih di bawah 36 derajat Celsius. Ini tiada lain berkat rimbunnya pohon-pohon jati tua yang besar dan rindang, di samping pohon besar lain, seperti pohon asam jawa dan pohon trembesi. Lokasi goa berada pada elevasi 172 meter di atas permukaan laut, di kawasan Pegunungan Kapur utara Jateng bagian timur. Goa Terawang terletak di relung bagian bawah. Menuju ke pintu goa tersedia anak tangga yang dilengkapi besi pengaman di bagian tengahnya sepanjang 15
meter. Ketinggian kelima goa yang ada di kawasan Goa Terawang bervariasi antara 1 meter dan 24 meter. Lebarnya juga bervariasi, dari 3 meter hingga 18 meter. Goa Terawang ini memanjang, menyerupai deretan rumah yang saling terhubung sepanjang 600 meter lebih. Tinggi langit-langitnya juga bervariasi, antara empat meter. Ada yang berbentuk parabola dihiasi stalaktit berbagai bentuk yang menawan. Bila musim hujan, stalaktit dan stalagmit akan meneteskan air sepanjang musim. Dalam sejarahnya tidak ada legenda rakyat yang mengemuka dari kawasan wisata Goa Terawang. Goa ini sudah dikenal sejak zaman raja-raja Jawa untuk tempat bertapa guna memperoleh kekuatan mistis.Pada masa pemerintahan Belanda, goa ini banyak menyimpan sejarah karena sering digunakan untuk pertemuan Bupati Blora semasa RMA Cokronegoro dengan pejabat-pejabat Belanda. Konon, tiap akhir pertemuan selalu diadakan pesta dansa bagi pejabat yang hadir. Namun, pada masa perang kemerdekaan, goa ini menjadi daerah pertahanan bagi para pejuang. Keunikan di Goa Terawang ini, para pengunjung leluasa mengamati goa di
siang hari. Di langit-langit goa terdapat sejumlah lubang alami yang memungkinkan sinar matahari menerobos masuk ke dalam dan menerangi bagian dalam goa. Oleh sebab itu, goa ini disebut Goa Terawang. Berkat lubang-lubang cahaya tadi, pengunjung tidak saja mendapat sirkulasi udara yang segar, tetapi bisa dengan saksama mengamati
keunikan dan keragaman bentuk-bentuk stalaktit dan stalagmit yang terdapat di dalam goa. Diyakini, stalaktit dan stalagmit yang ada di dalam goa itu masih tumbuh dan memberikan keragaman bentuk, seperti cumi-cumi raksasa atau jamur. Sementara stalaktit yang menjuntai ke bawah dari dinding atas berpadu menyambung dari langit-langit hingga lantai goa. Di salah satu sudut dinding goa, pengunjung juga bisa menemukan stalaktit mirip gigi "buta" (raksasa). Cahaya yang masuk ke dalam goa itu menciptakan bias sinar matahari yang memberi kesan tersendiri. Ada nuansa "pencerahan" pada berkas-berkas cahaya yang jatuh menimpa bagian-bagian tertentu dinding goa. Seperti ada yang mengatur saja, cahaya yang masuk itu hanya menerangi panorama tertentu, tetapi memperjelas detail tiap sudut goa. Jadi, bayangan bahwa goa itu angker menjadi sirna. Yang ada lukisan alam yang menakjubkan.
Pengunjung
Berdasarkan catatan, pengunjung wisata goa ini dari tahun ke tahun
cenderung menurun. Salah satu penyebabnya, goa-goa tersebut dibiarkan
alami dan kurang dirawat oleh pihak pengelola. Oleh karena itu, upaya
menggairahkan wisata goa kini tengah gencar digalakkan oleh Dinas
Pariwisata Jawa Tengah (Jateng). Jumlah wisatawan lokal yang berkunjung ke Goa Terawang pernah mencapai puncaknya pada tahun 2004, yakni 6.711 orang. Lalu, pada tahun 2005 jumlahnya menurun menjadi 4.684 pengunjung.

WISATA LOKOMOTIF DI GUBUK PAYUNG



Blora, kabupaten yang terletak
paling timur Jateng ini, terbukti cukup jeli dalam menggarap sektor wisata. Sadar bahwa daerahnya lebih banyak dikepung hutan jati, maka Pemkab setempat tidak punya keinginan membangun kawasan wisata lain kecuali mengoptimalkan potensi hutan yang telah dimilikinya
Sejak kawasan hutan yang terbentang luas dimaksimalkan sebagai tempat wisata, Blora langsung merengkuh dua keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama, berupa pemasukan retribusi yang terbukti mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Keuntungan kedua, berupa pengakuan dari masyarakat luar daerah, bahwa ternyata Blora tidak seburuk yang dikatakan orang. Kini, banyak wisatawan dalam negeri maupun manca negara merasa penasaran jika belum menyaksikan potensi wisata hutan di Blora. Beragam cerita yang berkembang mengatakan, apabila kita menelusuri kedalaman hutan di Blora, maka kita akan bisa mengintip keindahan “surga”. Salah satu sarana bagi wisatawan untuk dapat mengintip keindahan “surga” tadi antara lain dengan memanfaatkan Loko Tour. Loko Tour ini merupakan paket perjalanan wisata di Hutan Jati KPH Cepu, Blora, dengan rangkaian kereta api yang ditarik lokomotif tua buatan Berliner Maschinenbaun,Jerman, tahun 1928.
Rute menuju Loko Tour
Untuk menuju Loko Tour, para wisatawan dapat menempuhnya dengan kendaraan roda empat atau bus melalui jalur Surakarta–Ngawi-Cepu (122 km),Surakarta-Purwodadi-Blora-Cepu (161 km), Semarang-Purwodadi-Blora-Cepu (162 km),Semarang-Kudus-Rembang-Cepu (182 km),dan Surabaya-Bojonegoro-Cepu (149 km). Khusus perjalanan yang ditempuh dari Surakarta, meskipun agak jauh namun lebih menguntungkan bagi wisatawan. Sebab pada jalur ini, wisatawan dapat singgah terlebih dulu di Museum Purbakala Sangiran Kabupaten Sragen, atau menyaksikan keajaiban alam Bledug Kuwu di Grobogan. Bledug Kuwu merupakan daerah penghasil garam tradisional, dimana bahan baku air asinnya bersumber dari kawah yang terlontar dari dalam tanah.
[Photo] Atraksi Wisata Loco Tour
Obyek utama perjalanan ini adalah melihat hutan jati (tectoca grandis) yang dikelola dengan memperhatikan azas kelestarian hutan. Loko Tour yang dipersiapkan khusus untuk kaum wisatawan, rutenya sangat panjang. Dengan melintasi hutan jati di wilayah BKPH Ledok, Kendilan, Pasar Sore, Blungun, Nglobo. Cabak, dan Nglebur. Dalam ketataprajaan, lokasi-lokasi tersebut berada di wilayah Kecamatan Cepu, Sambong,

Jepon, Jiken, Kabupaten Blora. Sedang dua wilayah lainnya, masuk wilayah Kecamatan Kasiman, Bojonegoro, Jatim. Sejumlah obyek wisata yang bisa disaksikan dalam paket Loko Tour tadi selain lokomotif tua buatan tahun 1928, juga ada Bengkel Traksi, TPK Batokan, Bergojo, Kegiatan Pengelolaan Huta Jati berprinsip pada azas kelestarian hutan (penanaman, pemeliharaan, tebangan, saradan,angkutan), serta Gubug Payung. Bergojo, adalah semacam tempat penampungan air untuk keperluan lokomotif yang terletak di tengah hutan. Di sini, lokomotif akan berhenti sejenak mengisi air. Ketika loko diisi air, para wisatawan diizinkan turun untuk menyaksikan keelokan hutan Blora yang terkenal dengan para pencuri kayunya itu. [Photo]Sekitar dua kilometer dari Bengkel Traksi, peserta Loko Tour bakal ditunjukkan tempat penimbunan kayu (TPK) Batokan. TPK ini memiliki areal seluas 36,2 hektar, berdaya tampung 40.000 m3 kayu pertukangan dan 10.000 sm. Bersebelahan dengan TPK Batokan, terdapat Industri Pengolahan Kayu Jati (IPKJ) Cepu.Setelah penat berputar, wisatawan peserta Loko Tour oleh pemandu wisata dari Perum Perhutani dibawa ke Gubug Payung. Gubug di pedalaman hutan ini merupakan tempat peristirahatan yang memiliki Monumen Hutan Jati Alam, terletak pada petak 1.092a, BKPH Pasar Sore, KPH Cepu inilah, pengunjung dapat melihat pohon-pohon jati tua yang pernah dipotong tahun 1976. Pohon jati itu sendiri berumur lebih 100 tahun. Ini dibuktikan dengan menghitung lingkaran tahun pada penampang batang yang dipotong, berjumlah sekitar 108 lingkaran. Apabila para wisatawan ingin melakukan paket perjalanan selama dua hari atau lebih dengan Loko Tour, maka panitia telah menyediakan tiga tempat penginapan. Yaitu di Duta Ubaya Rimba (12 kamar), Wisma Sorogo (5 kamar), dan Pesanggrahan (4 kamar). [Photo]Tarif perjalanan paket Loko Tour ini tergolong murah, hanya 40 dolar/orang/hari, termasuk biaya penginapan dan makan. Selepas menghilangkan rasa penat di Gubug Payung, wisatawan dapat melanjutkan perjalanan dengan menyaksikan sistem tebang, saradan, danpengangkutan kayu jati, secara langsung di tengah hutan. Dua tahun sebelum ditebang pohon jati mesti dimatikan terlebih dengan cara diteres. Proses ini merupakan upaya mengurangi kadar air di dalam kayu. Dengan langkah tersebut kelak akan diperoleh kayu jati berkualitas tinggi, lebih awet, tidak mudah pecah, ringan waktu diangkut, dan mudah dikerjakan. Setelah mengalami teresan selama dua tahun, pohon jati baru ditebang. Penebangan dilakukan para blandong, yaitu tukang tebang professional yang tinggal di seputar hutan

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes