ungker from blora



Pernahkah kalian mendengar nama ungker? HAMPIR dipastikan, di Blora yang terkenal dengan hutan jatinya, setiap tahun pada masa peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan atau laboh, warga di sekitar hutan mengalami panen ungker (kepompong dari ulat daun jati.). Sayang setelah terjadi penjarahan hutan besar-besaran, panen ungker tidak seperti biasanya. Jumlahnya menurun drastis, bahkan untuk tahun ini musim ungker hanya berjalan sebentar. Sebutan bagi si kepompong ulat daun jati atau enthung. Walaupun tergolong hama, banyak orang menantikan kemunculan ungker. Bagi penggemarnya, ungker adalah makanan lezat, khas, dan kini kian langka.
satu cacatan buat para cewek yang belum pernah lihat ungker pasti akan
geli/ gigu(orang blora mengatakan) jadi hati hati aja...
Ungker:"Asyiiik, rasanya gurih!" kata penikmatnya. Sebaliknya, bagi mereka yang belum mengenalnya, umumnya merasa aneh dan takjub. Kepompong ulat kok dimakan? Hiiiiiiiii. Ketika membayangkan sang ungker menggeliat, mereka langsung ngeri bercampur geli. Bagi mereka yang alergi, perlu hati-hati karena dapat terkena biduren alias gatal-gatal.

Di balik itu semua, ungker termasuk makanan yang mengandung protein yang tinggi dan menyehatkan tubuh.
.
'ungker' merupakan pengalaman khas masyarakat Blora di sekitar hutan jati kala musim hujan datang. Mulai dari anak-anak, orang dewasa, sampai kakek-nenek, mendatangi hutan mencari ungker di balik dedaunan.

Ungker atau enthung merupakan kepompong ulat daun jati. Ulat dan kepompong itu tidak berbulu dan berwarna merah tua atau hitam kecoklat-coklatan. Ukurannya relatif kecil, sekitar 5-10 sentimeter. Ulat itu muncul ketika daun-daun jati mulai tumbuh pada musim hujan.

Demi ungker, warga sekitar hutan rela memarkir sepeda kayuh dan sepeda motornya berjam-jam di tepi jalan sekitar hutan jati. Mereka menyambangi setiap pohon jati mencari ungker.
Salah satunya Lasmiatun (30), warga Desa Kedungjarum, Kecamatan Randublatung, yang mencari ungker bersama dua tetangganya, Senin (17/11) siang. Dia menjelajah hutan jati wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung. Dia dengan tekun mengorek-orek dan membolak-balik daun jati kering sembari memegang plastik berisi ratusan ulat dan ungker.

"Ulat daun jati biasanya dimakan sendiri setelah digoreng. Sementara ungker umumnya dijual di pasar atau tepi jalan seharga Rp 5.000Rp 6.000 per gelas atau per pincuk daun jati. Ungker biasa dimasak oseng atau digoreng," ungkap Lasmiatun.

Ibu rumah tangga beranak dua itu biasa mencari ungker pukul 08.0015.00. Selama itu pula dia mengumpulkan dua gelas ungker sehingga mampu meringankan beban suaminya yang mencari nafkah sebagai buruh tani.

Yuni (20), warga Desa Wulung, Kecamatan Randublatung, juga meringankan beban keluarga berkat berjualan ungker selama November- Desember.

Setiap hari, dia menjual sekitar satu kilogram ungker. Jadi, dia mampu mengantongi uang Rp 25.000Rp 30.000 per hari dari penjualan ungker.

Soesilo Toer (68), adik sastrawan asal Blora Pramoedya Ananta Toer, mengatakan, mencari ungker adalah tradisi masyarakat Blora. Mereka memanfaatkan ungker sebagai makanan dan tambahan penghasilan.

"Konon kandungan protein ungker cukup tinggi," kata Soesilo tanpa merinci kandungan gizi sang ungker.

Dalam situs web SMA Negeri I Tunjungan Blora, Istika Wahyuni, pelajar sekolah itu, menjadikan ungker sebagai bahan penelitian dan penulisan karya ilmiah pada tahun 2007. Karyanya berjudul "Ungker sebagai Lauk Alternatif yang Belum Memasyarakat". Istika membuktikan ungker mengandung protein dan mampu meng-geliatkan perekonomian musiman masyarakat sekitar hutan.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes